Jeritan Chairil
Anwar
Tahun 1943
Oleh Fina Avy
Oktavy Yana
Judul puisi : Aku
Penulis : Chairil Anwar
Tahun : 1943
Tema puisi “Aku” karya Chairil Anwar
adalah tentang perjuangan. Perjuangan hidup si aku yang begitu menyedihkan
ditambah dengan penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Amanat yang dapat kita ambil dari puisi
tersebut yaitu kita harus terus berjuang dalam keadaan sesedih apapun. Kita
tidak boleh putus asa walau dalam keadaan susah dan harus terus memperjuangkan
apa yang kita inginkan hingga keinginan itu bisa tercapai. Gaya bahasa yang
digunakan dalam puisi tersebut sangat bagus. Pilihan kata yang digunakan
sesuai, dan perpadian diksi yang digunakan membuat puisi tersebut menjadi
indah, misalnya kata “kalau sampai
waktuku” itu yang berarti kalau sampai si aku menjumpai waktu kematiannya. Selan itu puisi tersebut juga
menggunakan majas hiperbola misalnya pada kata “Biar
peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang” sehingga membuat puisi
menjadi lebih menarik. Puisi ini
menggunakan sajak u-u-u-u misalnya pada “Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu”. Tipografi puisi tersebut kurang
menarik karena hanya berbentuk baris, tidak tersusun perbait.
A. Biografi Singkat Chairil Anwar
Chairil Anwar
dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan
Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mempunyai
pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai
dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil
mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.
Chairil masuk Hollands
Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu
penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar
sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu
pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil
menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi waktu
luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti
Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara
tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan,
Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini memberikan kesan lebih pada
hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu kepedihan
terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Sesudah nenek, ibu
adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa menyebut
nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa
ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali
kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya
pada ibunya.
Chairil Anwar mulai
memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di masa itu, ia
sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru, namun ia tidak
menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil
Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis oleh Jassin
sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Sejak kecil, semangat
Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan, pernah
membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil.
Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang
dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan
keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang
menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak
pernah diam.
Jassin juga pernah
bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami pernah bermain
bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan
mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami
bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia
Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan
Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk
ke dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi
pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur
panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah,
Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil
pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu,
pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang
sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah
yang menjadi penyebab kematiannya.
B. Sejarah
Chairil Anwar mulai
banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul Semangat
yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan
Maret tahun 1943 ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra.
Dengan bahasa yang lugas, Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum
pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman
dari publik karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada
zaman itu. Puisi tersebut tentu bukan Chairil ciptakan tanpa tujuan, hanya saja
tujuan dari puisi tersebut yang belum diketahui oleh masyarakat.
Chairil Anwar adalah
seorang penyair yang menuliskan apa saja yang ditemukannya dan dihadapinya
dalam pencarian itu, sebagaimana perkataan Sastrowardoyo dalam Ginting (2007),
bahwa pengarang seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan
Goenawan Mohammad terombang-ambing di antara dua kutub, kebudayaan daerah
dan kota, tradisi dan modern, Timur dan Barat. Lebih lanjut lagi,
dikatakan bahwa nasib manusia perbatasan adalah buah dari pencarian
hendak modern itu.
Jadi, puisi Aku
ini adalah buah hasil dari pencarian Chairil sebagai manusia perbatasan yang
terombang-ambing diantara dua kutub sebagaimana yang dikatakan oleh
Sastrowardoyo. Selain itu, puisi Aku ini adalah puisi Chairil Anwar yang
paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya. Alasannya, sajak Aku
bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan
penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ’binatang jalang’
yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan
tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Puisi Aku dan
Chairil Anwar adalah dua sisi yang tak pernah bisa dilepaskan. Sebagaimana
pengarangnya, puisi Aku ini juga mempunyai banyak sisi yang menarik
untuk diketahui lebih dalam. Oleh karena itu, penulis memilih judul tersebut
untuk mengetahui lebih lanjut tentang puisi Aku dan keterkaitannya
dengan Chairil Anwar sebagai pengarang dari puisi tersebut.
C.
Kelebihan
dan kekurangan
Kelebihan :
1. Kata-kata pada puisi tersebut telah berhasil membius pembaca dengan
menekankan segenap perasaan atau jiwanya
2. Amanat yang terkandung dalam puisi sangat bagus.
Kekurangan :
1. Penggunaan
kata-katanya terlalu rumit
sehingga diperlukan kajian yang medalam untuk memahaminya.
2. Kekuatan
yang digunakan penyair lebih condong pada pemilihan kata dan yang lainnya
kurang diperhatikan.
D. Kesimpulan
Puisi Aku karya Chairil
Anwar ini bagus untuk dibaca karena memiliki amanat yang baik untuk diterapkan
dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar